nama : nikhe yustiani
nim : 1102406019
PENDIDIKAN JARAK JAUH BAGI PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
Perempuan dan pendidikan dalam era terbuka seperti saat ini seakan tak pernah ada habisnya untuk terus dibahas. Isu pemberdayaan perempuan memang menjadi sangat aktual belakangan ini dalam ranah politik kontemporer. Hal itu lebih disebabkan pula pada keberadaan perempuan yang belum sejajar dengan laki-laki. Pada gilirannya, hal itu pula yang menyemangati kaum feminis dunia hari ini, bahwa perempuan selayaknya menempati posisi yang sama dengan laki-laki dalam berbagai sektor kehidupan.
Kondisi demikian, tentu saja sangat menguntungkan bagi perempuan yang ingin berpasrtisipasi dalam mengisi pembangunan. Tanpa melupakan kodrat sejatinya yakni mengandung, melahirkan dan menyusui, perempuan sesungguhnya mampu menjalankan roda pembangunan bersama-sama mitranya, kaum laki-laki.
Tentang kekuatan perempuan, sejarah bangsa mencatat kegigihan tokoh-tokoh perempuan yang mengharumkan nama bangsa dalam merebut kemerdekaan. Sebut saja, Raden Ajeng Kartini, Cut Nyak Dien, Dewi Sartika, Christina Marta Tiahahu atau Rangkayo Rasuna Said, adalah nama-nama yang menjadi teladan dan mengilhami lahirnya berbagai kesatuan serta organisasi kewanitaan bangsa ini.
Kartini, misalnya, adalah tokoh sentral dalam pergerakan perempuan melawan kebodohan dan ketidaktahuan yang disebabkan tidak mampunya perempuan membaca dan menulis. Dalam kumpulan pusinya bertajuk ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’, perempuan asal Jawa ini kemudian menjadi sangat terkenal, diteladani dan menjadi barometer kebangkitan perempuan dulu hingga kini.
“Hingga kini, kenyataan di lapangan masih banyak perempuan-perempuan yang hidup seolah di zaman Kartini. Di pelosok-pelosok desa terpencil hingga di perkampungan kumuh nan padat penduduk di kota besar seperti Jakarta, masih banyak perempuan yang buta huruf, tidak berdaya dan teraniaya,” kata Angelina Sondakh, dalam seminar sehari bertema ‘Peran Pendidikan Jarak Jauh Dalam Pemberdayaan Perempuan Bagi Pembangunan Nasional’ dalam rangkaian wisuda Universitas Terbuka (UT), belum lama ini.
Disinilah, kata perempuan 27 tahun yang kini menjabat sebagai anggota komisi X DPR RI yang membidangi masalah pendidikan, peran pendidikan menjadi sangat penting, dan untuk itu perlu campur tangan pemerintah dan segenap institusi masyarakat serta kalangan dunia usaha.
“Karena itu, akses kepada pendidikan, termasuk pendidikan luar sekolah yang memungkinkan bagi perempuan kurang beruntung untuk mengenyam pendidikan, harus terus ditingkatkan,” kata dia.
Kenyataannya, perempuan dalam tatanan kehidupan bernegara dan berbangsa sangat menentukan. Tercatat saat ini jumlah perempuan di Indonesia hampir separuh dari total penduduk. Dari catatan pemilihan umum (pemilu) 1999, 57 persen pemilih adalah perempuan.
“Tapi berapa anggota DPR perempuan yang terpilih dari situ? Hanya 8 persen. Pun ketika UU politik yang menyebutkan kuota 30 persen perempuan di kursi politik, hasil pemilu 2004 hanya mampu mendudukkan 11 persen perempuan di kursi parlemen,” ujar Angelina.
Tentunya, peran perempuan di lini atas hingga akar rumput, tak lepas dari adanya kebijakan yang menggarisbawahi kepentingan perempuan. Untuk itu, menurut Angelina, perlu diciptakan perempuan-perempuan tangguh yang mampu memperjungkan aspirasi dan cita-cita kaum perempuan.
“Untuk itu, UT sebagai salah satu teladan dalam model pembelajaran jarak jauh, termasuk salah satu institusi yang mampu menciptakan akses kepada perempuan yang tidak sekedar lulus SMA, tapi juga menjadi manusia dengan ilmu yang lebih banyak lagi,” kata dia.
Hal itu dialami langsung oleh Sri Sumiati, SE, MM, yang saat ini menjabat sebagai sekretaris umum Ikatan Alumni UT. Dikatakannya, keinginan untuk mencapai yang paling maksimal dalam bidang pendidikan, tak pernah bisa dihalangi meski jarak dan waktu seolah menghadang.
“Saya tetap betekad kuliah, meski dengan sistem jarak jauh. Mulai dari S1 hingga S2, saya tempuah sambil terus menjalankan tugas saya sebagai seorang ibu di rumah juga pengajar di sekolah,” kata Sri.
Menurut Sri, sistem pembelajaran jarak jauh seperti yang dijalaninya, cukup membantunya dalam meraih kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Dengan bermodalkan keinginan kuat, perempuan bisa menjadi lebih signifikan peranannya dalam pembangunan melalui sistem pembelajaran jarak jauh yang dimiliki UT.
Sistem pembelajaran jarak jauh sendiri, seperti dijelaskan Dekan UT, Tri Damayanti, secara sadar atau tidak sadar telah menanamkan asas kemandirian di kalangan mahasiswanya. Untuk itu, perempuan adalah insan yang tabah menghadapi berbagai tantangan, cobaan dan godaan, sehingga tingkat kelulusannya pun bisa disejajarkan dengan laki-laki.
Dalam pengabdiannya di masyarakat pun, perempuan yang telah terlatih dengan pendidikan jarak-jauh, terbukti lebih mumpuni, ulet dan tabah. Semangat kemandirian yang dimiliki pun tak jarang diamalkan dan ditularkan kepada lingkungan sekitar, termasuk kepada anak didik, jika profesi perempuan tersebut adalah guru.
“Karena mereka terbiasa menjadi mahasiswa jarak-jauh, maka ketika mengajar pun, kemandirian senantiasa ditanamakan kepada peserta didik mereka,” ujar Damayanti.
Dengan demikian, tak pelak lagi, model pembelajaran jarak jauh bisa dikatakan sangat berperan dalam perkembangan jender di Indonesia, karena akses kepada perempuan di pelosok-pelosok untuk mendapatkan pendidikan secara maksimal bisa terwujud.
“Tentu saja, dengan pembenahan di sana-sini, salah satunya adalah meningkatkan kepedulian perguruan tinggi dimaksud terhadap keberadaan pemberdayaan jender di tanah air. Itu bisa terlaksana jika institusi bersangkutan menyediakan informasi yang terkini tentang perkembangan dan kemajuan kaum perempuan secara global,” tandas Angelina Sondakh.
sumber :http//www.bkkbn.go.id
Tuesday, May 6, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment